Minggu, 27 April 2014

"Buku Korban Cinta" Al-Habib Muhsin Bin Ali AL-Hinduan








Korban
CINTA

Oleh :
AL-HABIB MUHSIN'ALI AL-HINDUAN




Diterbitkan dalam rangka
Haul Akbar ke-25 tahun 2005
AL-ALLAMAH AL-HABIB MUHSIN
BIN'ALI AL-HINDUAN RA

MAJELIS THARIQAT
ALAWIYAH NAQSYABANDIYAH MUHSINIYAH
S I T U B O N D O



BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Maha suci Allah yang telah memberikan rasa cinta-nya kepada semua insan , kemuadian ia berikan sifat tersebut sebesar darrah kepada manusia, sehingga seorang ibu mencintai anak nya, sehingga binatang buas yang tak berakal pun karena rasa cinta yang di berikan Allah, Tak pernah binatang tersebut memakan anak nya sendiri.
Shalawat dan Salam Kepada kekasih Allah yang mulia , junjungan kami dan wasilah cinta kami kepada Allah SWT. Pemimpin para pecinta Allah, Muhamad SAW serta keluarga dan sahabatnya, shalawat dan salam yang kekal sebagaimana kekalnya kekuasaan Allah SWT.
Cinta kepada Allah SWT adalah puncak kenikmatan tertinggi. Jika tertanam rasa cinta di dalam hati seorang hamba terhadapnya makahilanglah segalanya kecuali Dia. Tak ada yang diinginkan kecuali perjumpaan dengan-nya ( kekasihnya)
Diceritakan , Samman duduk di dalam hati masjid membicarakan tentang cinta, Tiba-tiba datanglah seekor burung kecil lalu mendekat kepadanya atas tangannya. Kemudian semakin mendekat hingga hinggap di atas tangannya. Kemudian burung tersebut mematukkan paruhnya ke tanah sehingga mengalir darah . Dan burung itupun mati, karena cerita cinta yang di kisahkan oleh Samnun.
Sungguh anugerah yang terbesar , yang di berikan oleh Allah adalah cinta . Semoga kecintaan kita tertuju kepadanya atau paling tidak, kita mencintai orang-orang  yang mencintainya, sehingga kita di golongkan kepada orang-orang yang mencintai Allah.
Semoga buku ini dapat menjadi i'tibar bagi mereka yang mau mengambil pelajaran dari kisah ini.


                                                                                                Wasalam dari pernebit
                                                                                                Situbondo, J u l i 2005






KATA PENGANTAR
 Cinta kepada Allah adalah puncak dari segala tingkat.
            Tidaklah ada sebuah tingkatan setelah cinta melainkan tingkatan itu merupakan buah dari beberapa buah cinta atau bagian dari beberapa bagiannya, seperti  '' syauq'' (rindu) merana hati  karena Allah, ridha  dan lain-lain sebagainya.
            Demikian juga tidaklah  ada suatu tingkat  sebelum cinta melainkan tingkat itu  merupakan suatu '' muqadimah'' ( pendahuluan) dari beberapa pendahuluannya , seperti taubat , sabar, dan zuhud (tidak meletakkan hati kepada dunia) dan lain-lain sebagainya. Cinta kepada Allah  dalam arti hakekatnya telah di ingkari sebagian 'Ulama dan mereka berkata : 'Tidak ada arti dari mencintai Allah melainkan tetap mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Adapun untuk mencapai hakikat cinta dengan lain jenis tidaklah mungkin''.
            Setelah mereka mengingkari hakikat cinta maka dengan sendirinya mereka mengingkari juga akan ada nya ''uns'' (mesra). Rindu dan lezat munajat dengan Allah  dan lain sebagainya.
            Adapun hakikat yang terkandung dalam risalah kecil yang kami beri nama '' KORBAN CINTA '' ini, melukiskan cinta suci murni dari seorang hamba kepada tuhannya. Cinta yang di perolehnya dari merenungi  Keindahan-nya  (jamalul rububiyah)  yaitu sebagaimana tersebut dalam sebuah hadist Qudsi: '' Aku sediakan bagi hamba-hambaku yang shaleh apa-apa yang mata belum pernah melihat , telinga belum pernah mendengar,  dasn belum terlintas di hati seorang , manusia jua pun''.
            Mudah-mudahan hikayat ini akan memeberi faedah yang sebesar-besarnya bagi setiap pembaca yang membacanya dengan penuh rasa tadabbur dan tafakkur  akan segala rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Amin



                                                                                                            Situbondo, Juli 1971




BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Berkata Al-Imam Sariy As-Saqthi Radhiyallahu ’Anhu.
       Pada suatu malam aku tak dapat tidur sedikitpun, padahal aku baru saja memberati diriku  dengan mengerjakan sembahyang tahajud serta memperbanyak tafakkur.
       Setelah selesai sembahyang subuh, keluarlah aku dari rumah tanpa maksud dan tujuan tertentu . Seraya kataku dalam hati : “Alangkah baiknya aku pergi menemui seorang penasehat, kalau-kalau hatiku bisa mendapatkan ketenangan dengan nasehat dan anjurannya”. Akan tetapi setelah aku sampai kesana , tiada yang ku dapatkan kecuali kegelisahan,kesumpekan dan kekerasan hati yang semakin bertambah.
       Kata hatiku sekali lagi : “Aku akan pergi ke penjar untuk mengambil i’tibar
( Pelajaran ) di  dari orang-orang hukuman”. Demi setelah aku sampai kesana,masih juga hatiku tetap seperti biasa , tiada berubah juga . kemudian hatiku berkata    lagi : “Lebih baik aku pergi ke rumah sakit jiwa saja, kerana disana  aku dapat mengambil i’tibar dengan orang-orang yang sedangmengalami cobaaan”.
       Demi setelah aku sampai di rumah sakit jiwa, tiba-tiba hatiku menjadi sadar dan teruslah aku masuk ke dalam.
       Setibanya di dalam terlihat olehku seorang wanita jariyyah ( hamba sahaya) yang sedang duduk di atas tempat tidur
       Wanita itu amatlah cantik, berpakaian indah dan dari badannya, aku mencium aroma yang sangat harum. Dia menundukan kepalanya kepalanya kebawah, sedang kedua kaki dan tangannya di belenggu. Demi setelah dia melihatku, bercucuranlah air matanya seraya ia bersyair :
       Aku berlindung demi engkau
       Janganlah Engkau belenggu
       Tangan kaki tak berdosa itu
       Engkau membelenggunya sampai ke leherku
       Padahal ia tak mencuri tak berkhianat
       Di sekitar dadaku  terasalah olehku
       Panas api yang membakar hatiku
       Namun.........................
       Walaupun ia kau jadikan sepotong-sepotong
       Demi hak-mu takkan kuuundurkan sedikit jua.

       Berkata Sariy As-Saqtyi Radhiyallahu’Anhu ::
Setelah ku dengar  syair wanita itu, bertanyalah aku kepada penjaga rumah sakit itu : Mengapa wanita itu di titipkan disini ?”.
       Jawab penjaga : “Wanita itu gila . Oleh tuannya dititipkan disini agar ia sadar dan sembuh kembali.
       Kata sariy As-Saqthi selanjutnya : “Maksudku ingin mendekati wanita itu, tetapi penjaga menghalangiku”,seraya berkata : “Janga coba-coba tuan mendekatinya, karena penyakit wanita itu amatlah berbahaya.
       Mendengar kata penjaga yang demikian itu, semakin deraslah airmatanya mengalir, seraya bersyair :
Wahai manusia, bukanlah aku gila
       Namun aku mabuk dengan hati sadar
       Aku mabuk dengan mencintai kekasih
       Nan tak kuasa aku menjauhi-Nya.
       Kebaikan yang kau pandang  sebagai kebinasaan
       Itulah dia kebaikanku
       Tak kan berdosa orang mencintai
       Tuhandari segala yang di pertuhankan
Setelah kudengar syair wanita itu, sesaklah rasa dadaku sehingga aku menangis, Demi ia melihatku menangis, berkatalah ia kepadaku : “Tangismu itu hanya di sebabkan mengingat sifat-sifatnya semata, betapa sekiranya engaku kelak dapat mengenal-Nya ?”. Kemudian ia menangis lagi seraya bersyair :
Engkau pakaiakan aku pakaian rindu
Alangkah sedapnya pakaian itu
Engkau dalah Tuhan dari segala manusia
Dan Tuhan yang Haq, pada mulanya
Hatiku penuh aneka warna cita-cita
Namun, setelah melihat-Mu dengan nyata
Bersatulah Cintaku pada-Mu seorang
Orang yang kubenci kini menjelma
Menjadi orang yang mendengkiku, namun
Aku menjadi orang  yang di pertuan
Setelah engkau menjadi tuanku

Ku tinggalkan manusia, dunia dan
Agama mereka karena sibuk oleh cinta-Mu
Wahai dunia dan agamaku,
Kerinduan dalam hati dan jiwa
Kesemuanya adalah dari padaku
Sedang cinta dan kekasihku
Telah menguasai seluruh dariku.
       Berkata Sariy As-Saqthi selanjutnya          :
Kemudian itu bertanyalah aku kepada wanita itu : “Hai wanita ”Labbaik hai Sariy “, jawabnya . Aku termanggu keheranan karena ia mengenal akan namaku, lalu aku bertanya : “Dari mana engkau menegenal aku, padahal tiada pernah aku           melihatmu ?. Jawabnya : “Tuhan yang mengetahui segala yang ghaib, Dialah yang telah mengenalkan aku dengan engkau”.
       Sebab apakah engkau dipenjarakan disini, padahal demikian tinggi ma’rifah (pengetahuan) dan keikhlasanmu dalam mencintai Dia ’’ tanyaku.
       Jawabnya : ”Mereka mengira aku gila, padahal merekalah yang lebih kayak disebut gila”. Kemudian itu ia Menangis tersedu-sedu.
       “siapa namamu ?” tanyaku.
       “Tuhfah ” jawabnya.
       Lalu kataku kepada penjaga rumah sakit itu, “Lepaskan belenggu itu dari tangan dan kakinya !” maka lalu dilepaskanlah.
       Kemudian kami bercakap-cakap beberapa saat. Tiba-tiba datanglah Tuan pemilik jariyah itu. Setelah melihat kami, ia memberi salam penuh hormat padaku, lalu aku berkata kepadanya : “ Wanita itu lebih berhak mendapatkan kehormatan. Mengapakah tuan berbuat begini dan apakah yang tiada menyenangkan tuan dari keadaan wanita itu ?”.
       Ia menjawab : “Ialah tangisannya yang tiada putus-putusnya siang dan malam, tiada mau tidur sama sekali dan kamipun tak dapat tidur karenanya”.
       Demi Allah, wanita ini adalah barang daganganku yang kubeli 500 (lima ratus) dinar”
       “Apakah pekerjaanya ?” tanyaku.
       “Dia ahli memainkan gambus” jawabnya.
       Aku bertanya lagi : “ Bagaimana asal mulanya menjadi    begitu ?”.
       Ia menjawab : “ketika ia menyanyi sambil memetik gambus dengan syairnya :
       Penuh jiwa ragaku oleh kerinduan
       Betapa ‘kan kudapat berkata,
       Bercakap dan berjalan
       Demi hak-mu, janji itu takkan
       Dilenyapkan zaman
       Wahai yang tiada Tuhan melaikan Dia
       Relakan Engkau kiranya melihatku
       Sebagai seorang hamba bagi sesama manusia

       Tiba-tiba gambus itu dilemparkannya, sehingga menjadi pecah dan hancur. Demikianlah asal mulanya ia menjadi gila, sebagaimana tuan saksikan sekarang ini”.
       Mendengar cerita tuannya yang demikian itu, Tuhfah bersyair lagi katanya :
       Bercakaplah Al-Haq denganku dalam hati
       Menjadikan Ia penganjurku, pada lidahku Ia
Mendekatkan daku, setelah menjauhkan dan menjadikan daku
pilihan-Nya.
Berkata Sariy As-Saqthi kepada pemilik wanita jariyah itu : “Lepaskanlah dia itu dan besok akan saya berikan kepada tuan lima ratus dinar insya Allah sebagai ganti harganya. “ Biarlah ia tetap tinggal disini dahulu sehingga uang itu saya terima dari tuan”, jawabnya.
Setelah itu akupun pulang kembali kerumah dengan hati pilu, memikirkan jariyah Tuhfah itu.
Dipertengahan malam itu, datanglah orang mengetuk pintu rumahku, maka keluarlah aku. Kudapatkan lima orang laki-laki, maka segera kutanyai mereka, : “Apakah maksud kedatangan saudara-saudara sekalian kemari dimalam yang kelam kabut ini ?”.
Salah seorang diantara mereka menjawab : “Kawan-kawan dijalan Allah ini sama datang berkunjung kemari dengan izin Allah, untuk sesuatu hal yang amat penting, semoga sudilah tuan memberi izin kepada kami masuk ke dalam rumah tuan”.
Setelah mereka masuk, terlihat olehku masing-masing ada membawa kantong yang berisikan dinar. Salah seorang diantara mereka bertanya kepadaku, katanya : “Adakah tuan mengenal akan saya ?” “Tidak kenal”, jawabku. “Saya bernama Achmad Ibnu Mutsanna. Ketika saya sedang tidur, terdengar olehku suara ghaib, katanya : “Hai Ibnu Mutsanna, maukah engkau berbuat sesuatu kebaikan untuk Allah ?”. “Alangkah gembiranya hati saya bila Allah mengizinkan saya untuk itu”, jawabku. “Bawalah lima ribu dinar kepada Sariy As-saqthi untuk menebus Tuhfah, karena dia telah kupilih sebagai waliku yang mendapat ‘inayah pertolonganku. Dan ketahuilah olehmu, bahwa tuan pemilik Tuhfah itu, akan dimudahkan Allah rizkinya dengan tak usah bersusah payah lagi”.
Kata Ibnu Mutsanna selanjutnya : “Maka setelah saya bangun, segeralah saya datang kemari untuk memenuhi apa yang telah diperintahkan kepada saya”.
Bekata Sariy As-Saqthi : “Maka bersujudlah aku karena bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang telah kuterima itu. Demikianlah, setelah fajar menyingsing, segera aku tegak bersembahyang subuh, kemudian segera aku keluar menuju rumah sakit. Di muka pintu rumah sakit, kulihat si penjaga sudah tegak berdiri dan setelah melihat aku datang, bertanyalah ia kepadaku, katanya : “Tuan datang kemari untuk urusan Tuhfah, bukan ?”. “Ya”, jawabku. Dan seterusnya lalu kuceritakan padanya apa yang telah terjadi antara aku dan pemilik wanita itu semalam dan segera aku masuk kerumah sakit itu. Demi Tuhfah melihat aku datang, menangislah ia dengan air mata yang bercucuran seraya bersyair, katanya :
Telah cukup kusabarkan diriku
Kerena mencintai-Mu, tapi
Kini kesabaran itupun rupanya
Telah dekat masanya meninggalkan daku
Tak tersembunyi bagi-Mu
Segala urusan ini
Wahai harapan
Dan tempat kumohon
Kuharapkan Engkau melepaskan
Beban kebudakan dan
Dijadikan aku manusia merdeka
Yang terlepas dari tawanan
Ketika kami sedang duduk, datanglah tuan pemilik wanita jariyah itu dengan muka cemas serta bercucuran air matanya, lalu aku berkata kepadanya : “Tak usah tuan menangis, Allah telah memberi kelapangan, uangpun telah siap sedia seperti yang tuan harapkan, bahkan kalau perlu boleh tuan meminta tambahannya, walaupun sampai lima ribu dinar”. Demi Allah, tidak akan saya terima uang tebusan itu, walaupun dengan emas dan perak sepenuh bumi”, jawabnya.
“Hai tuan, bukankah tuan telah berjanji dengan saya kemarin itu ?” kataku.
“Betul tuan”, katanya. ”Tetapi tuan tidak tahu apa yang terjadi. Ada beberapa cercaan atas diriku dari suara “hatif” (ghaib) yang telah saya dengar 
“Ketahuilah, bahwa wanita ini telah kumerdekakan karena Allah ta’ala, bahkan segala milik dan kekayaanku telah kusediakan semuanya untuk Allah ta’ala”.
Kata Sariy As-Saqthi: Aku telah menoleh kebelakang, tahu-tahu Ibnu mutsanna sedang menangis di belakangku dengan sekuat-kuatnya, lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah yang tuan tangiskan itu?”.
Jawabnya : “kalau begini kejadiannya, itulah suatu tanda bahwa Allah tidak ridha kepadaku”. “bukan begitu”, kataku, padahal perbuatan tuan telah di catat karena niattuan yang baik itu. Niat itu adalah lebih baik dari pada amalannya”.
Kemudian itu berkatalah Ibnu Mutsanna : “Hai Sariy As-Saqthi, uang itu telah saya keluarkan untuk Allah Azza Wa Jalla, maka tak boleh dikembalikan lagi. Jadi uang itu dan sisa uang saya yang ada, semua telah saya sedekahkan. Begitu juga segala budak sahaya yang ada pada saya, telah saya merdekakan semuanya karena Allah Ta’ala. Kini saya akan kembali kepada Allah dan bertaubat dari dosa saya”.
Tiba-tiba Tuhfah tegak berdiri dan dilepaskannya pakaian-pakaiannya. Dia lalu menggantinya dengan pakaian yang terbuat dari bulu serta pergilah ia bersama-sama kami, seraya bersyair katanya :
Wahai kesenangan hati, Engkaulah
Pujaan hati dan kesenanganku
Engkau adalah harapan dan tujuanku                      
Cahaya dari segala cahaya
Berapa banyak kulihat pecinta
Bersabar diri karena cinta dan
Berapa lama cinta berdiam
Bersinggasana dalam dada
Kemudian itu ia menjerit dan mengeluh katanya : “Wahai alangkah lamanya kesedihan ini”.
Setelah itu berpisahlah kami dengan Tuhfah pergi sambil bersyair :
Aku menangis karena-Nya
Dan aku lari dari-Nya kepada-nya
Demi hak-Nya, harapan itu
Takkan ku tinggalkan selamanya
Hingga tercapai olehku
Cita-cita yang kupinta dari-Nya.
Berkata Saryi As-saqthi : Sejak itulah ia meninggalkan kami”.
Sehingga pada suatu tahun, pergilah aku beserta bekas tuannya Tuhfah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Ketika kami sedang mengerjakan thawaf dengan beberapa jama’ah, terdengar olehku suara duka dari seorang wanita yang memanggilku dengan suara yang sangat nyaring.
Setelah wanita itu melihat kami, ia pun bersyair :
Pecinta Allah di dalam dunia
Senantiasa menderita dan bersakit-sakit
Ia pun tak putus-putus dengan penyakit
Yang dari itu juga penyakitnya sembuh
Ia rindu karena cintanya
Nan tak mengharapkan kasih lainnya
Demikianlah tiap pecinta
Mengeluh merintih hingga berjumpa.
Kemudian ia jatuh pingsan. Setelah siuman Melanjutkan lagi syairnya :
       Aku akan mati ,namun cintaku
Tetap tak akan berubah
Jiwakupun tak akan merasa puas
Selamanya oleh rasa cinta kepada-Mu
Wahai harapan dari segala harapan
Hanya engkaulah harapanku
Tempat kerinduan dan rahasiaku
Bukankah Engkau petunjuk jalan
Bafi yang sesat dalam perjalanan
Penolong bagi mereka yang jatuh ke jurang.
Aku maju mendekati wanita itu, kata Sariy As-Saqthi, kuketahui, ia adalah Tuhfah. Aku bertanya kepadanya : Apakah pemberian Allah kepadamu setelah engkau putuskan hubunganmu dengan makhluk ?”.
Ia mejawab  : “Dia menjadikan aku di dekat-Nya dan menghindarkan aku
Gangguan makhluk-Nya
Kemudian kataku lagi kepadanya :Tuhfah,
Ahmad ibnuu mutsanna telah meninggal”.
Jawabnya  : “Semoga Allah mengasihi dan mengampuninya. Kuharapakan dari Allah segala kebaikan dan kenikmatan untuknya dan semoga Allah membalasnya dari uang yang ia nafkahkan di jalan Allah itu dengan tujuh ratus  kali lipat, bahkan lebih dari itu”.
Kemudian itu ia berdo’a : “Wahai Tuhan dan penghuluku , aku memohon kepada-Mu yang telah menerangi segala kegelapan dan menjadi baik karenanya segala urusan duni dan akhirat, agar supaya Engkau mencabut ruhku kembali kepada-Mu . Sampai bilakah aku harus tinggal di dunia dengan penuh derita ? Ilahi, cukup lama aku merindukan-Mu, segerakanlah oleh-Mu Rohku Kau panggil kembali. Wahai Tuhan yang lebih kasih dari pada segala Pengasih, Tuhan yang memperkenankan do’a orang yang sedang dalam kesempitan.
Sehabis berdo’a ia menghadap kiblat dan membaca dua kalimat syahadat, kemudian ia punmenghembuskan nafas terakhir kembali menemui Tuhan yang di rindukan dan di cintainya siang dan malam
Maha suci Allah, Tuhan yang hidup tiada matinya”.

TAMAT


Cetakan I    September 1971
Cetakan II  Desember 1989
Cetakan III Juli 2005
Cetakan IV  Juli 2013